![]() |
"Mereka yang hanya tahu hitam dan putih, tak mengherankan bila terkaget-kaget melihat warna-warni yang lain"-Gusmus. Photo By Me |
Saat itu, suasana disana seperti tidak berubah, di meja-meja lainnya mereka saling bernyanyi, ngobrol sana-sini, tawa dan teriak sembari pukul-pukul meja, ada juga yang berusaha tenang di tengah hiruk pikuk itu karena berkonsentrasi bermain catur ataupun menyelesaikan tugas bersama komputer jinjingnya. Pun dengan wajah-wajahnya, seperti tidak berubah, tetap tidak ada yang saya kenal selain dia yang ada dihadapan saya. Saya tidak begitu paham, namun disini adalah tempat kencan, tempat mencari jodoh, katanya. Banyak kumbang dari Fakultas lain mengembara kesini. Yaps, pantas saja, badan saya mengarah kepada dia tapi seringkali mata melirik kanan kiri melihat bunga yang melintas, padahal kawan saya ini bisa dibilang, cantik. Tapi, sayangnya mereka yang melintas lebih membuat saya penasaran. Pun disini adalah tempat berpolitik, dengan berbagai ideologi yang random.
Belakangan ini, saya seperti penuh dengan masalah. Seperti yang di ucap kawan, masalah selalu ada dalam keseharian. "Ada di antara permasalahan dalam keseharian tersebut yang baru saja terjadi dan permasalahan yang tak kunjung usai, hingga mencapai tahunan. Untuk jenis permasalahan yang telah berlangsung lama, seringkali menjadi sesuatu yang dianggap biasa sehingga mencuat dalam ketaksadaran kolektif bahkan diri, bahwa hal tersebut bukanlah sebuah masalah." Namun, bukannya masalah adalah bagian dari warna kehidupan, toh? Serunya.
Pun dengan masalah diri dalam organisasi, dimana seseorang memiliki peran tertinggi dalam sebuah pencapaian maupun strategi. Dia menceritakan mengenai kisah pimpinannya di Lembaga Riset yang fokus pada kebudayaan, yang luar biasa sabar menghadapi anak buahnya yang tidak bertanggungjawab, sekalipun anak buahnya tersebut mutlak salah, namun dia berpandangan lain. Bahwa, dirinya tidak mutlak memandang permasalahan hanya Hitam dan Putih. Sehingga, permasalahan demikian dapat dihadapi dengan kerendahan hati tanpa mencedrai berbagai pihak. Tentunya dengan niat, bahwa, persaudaraan dan regenerasilah yang terpenting disana, bukan melulu tentang pekerjaan, katanya.
Belakangan ini, saya seperti penuh dengan masalah. Seperti yang di ucap kawan, masalah selalu ada dalam keseharian. "Ada di antara permasalahan dalam keseharian tersebut yang baru saja terjadi dan permasalahan yang tak kunjung usai, hingga mencapai tahunan. Untuk jenis permasalahan yang telah berlangsung lama, seringkali menjadi sesuatu yang dianggap biasa sehingga mencuat dalam ketaksadaran kolektif bahkan diri, bahwa hal tersebut bukanlah sebuah masalah." Namun, bukannya masalah adalah bagian dari warna kehidupan, toh? Serunya.
Pun dengan masalah diri dalam organisasi, dimana seseorang memiliki peran tertinggi dalam sebuah pencapaian maupun strategi. Dia menceritakan mengenai kisah pimpinannya di Lembaga Riset yang fokus pada kebudayaan, yang luar biasa sabar menghadapi anak buahnya yang tidak bertanggungjawab, sekalipun anak buahnya tersebut mutlak salah, namun dia berpandangan lain. Bahwa, dirinya tidak mutlak memandang permasalahan hanya Hitam dan Putih. Sehingga, permasalahan demikian dapat dihadapi dengan kerendahan hati tanpa mencedrai berbagai pihak. Tentunya dengan niat, bahwa, persaudaraan dan regenerasilah yang terpenting disana, bukan melulu tentang pekerjaan, katanya.
Pola pikir ketimuran seperti ini, dalam diskursus filosofis sering disebut
dengan struktur berpikir both and. Frasa ini mau
meringkaskan bahwa pola pikir timur tidak memandang keyataan hidup hitam atau putih,
tetapi kedua-duanya, bisa hitam, bisa putih, atau warna lain tergantung dari sudut pandang mana memandang, menafsirkan, dan menilainya. Teringat ucapan Gusmus, "Mereka yang hanya tahu hitam dan putih, tak mengherankan bila terkaget-kaget melihat warna-warni yang lain". Pola pikir ketimuran ini disadari akhir-akhir ini oleh dunia barat lebih
akomodatif, lebih memberi ruang bagi aneka sudut pandang yang bukannya
memisahkan, mempertentangkan, tetapi mendamaikan.
Seperti pandangan Rani Rachmani dalam Novelnya berjudul Titik Balik, alam tidak lagi dilihat sebagai objek yang terpisah atau berjarak dari
manusia sebagai subjek. Alam lebih dilihat sebagai jagad besar dan
manusia adalah jagad kecil atau makrokosmos dan
mikrokosmos yang harus diharmonikan. Sebagai jagad besar, alam semesta harus
dilestarikan karena itu adalah perpanjangan tubuh manusia. Menghargai alam
berarti menghargai tubuh. Mencintai sesama berarti mencitai dirinya sendiri.
Ah, masalah cinta, kami seperti memiliki masalah yang sama. Seperti belum bisa melihat warna lain. Tapi jelas, saya tidak lagi memiliki obsesi sesaat yang ujungnya hanya menyakiti seperti sebelumnya. Karena, seperti yang kawan saya sampaikan, yang dibutuhkan dirinya adalah sharing partner. Dan saya mengangguk, karena demikian pula dengan saya. Cukuplah katanya, "coba dengar lagu ini, mungkin akan menjawab kebutuhan yang dimaksud itu".
Bersambung.....