Melalui buku ini, Tauchid seolah ingin menyadarkan kita
dan mengingatkan bahwa masalah agraria merupakan persoalan fundamental dan
kompleks bagi bangsa Indonesia. Dalam
bukunya yang berjudul ”Masalah Agraria Sebagai Masalah Kehidupan Dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia” Mochammad tauchid mengawali tulisannya dengan suatu
pernyataan yang menggugah, yaitu ”Soal agraria (soal tanah) adalah soal
hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan.
Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia.
Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk
itu orang rela menumpahkan darah, mengurbankan segala yang ada untuk
mempertahankan hidup selanjutnya”.
Masalah
ketimpangan dan konflik agraria yang terus mengemuka hingga kini adalah warisan
dari berbagai politik agraria yang pernah diterapkan di Indonesia sejak jaman
penjajahan hingga abad milenium jaman reformasi kini. Pada tahun 1930, Komisi Spit diberi tugas
untuk mempelajari kemungkinan peninjauan politik yang lama, berhubung dengan
adanya desakan dari beberapa golongan agar orang asing (terutama Belanda Indo)
diberikan hak tanah dan dapat membeli tanah dari orang Indonesia. Komisi ini
memberikan pendapatnya bahwa politik yang lama (Grondvervreemdingsverbod) itu
harus dipertahankan.
Namun
jika para petani tersebut kehabisan tanahnya, maka dikhawatirkan akan muncul
satu “barisan buruh” yang akan membahayakan bagi hidupnya perusahaan dan
membahayakan juga bagi kedudukan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial tetap
meng hendaki adanya tenaga penggarap yang
murah, tetapi jiwanya tetap “borjuis kecil” yang terikat oleh tanahnya
yang dicintainya, serta jiwa feodal yang masih kuat berakar. Hal ini dapat
dijadikan hambatan akan “proses proletariseering” di Indonesia, yang
perlu dipertahankan untuk keselamatan kaum modal dan pemerintah Kolonial.
Dengan sistem seperti ini, maka terdapat banyak petani di Indonesia yang
statusnya setengah buruh dan setengah tani. Dengan cara seperti ini, para
petani tersebut tidak akan dapat memeperjuangkan nasibnya sebagai buruh dan
juga tidak dapat lagi mendapatkan hasil dari tanahnya, sebab keduanya tetap
dalam kuasa pemerintah kolonial.
Kehadiran Jepang di Indonesia juga telah menambah pelik
Indonesia dan penderitaan rakyat. Obsesi Jepang yang akan menjadikan Indonesia
sebagai benteng pertahanan menghadapi sekutu memaksa rakyat Indonesia untuk
melipatgandakan hasil bumi agar Indonesia menjadi gudang dan sumber perbekalan
perang. Dengan alasan seperti itu, maka penanaman bahan makanan digiatkan
dengan mengerahkan rakyat secara brutal. Bangsa Indonesia dipaksa menjadi romusha
dan lebih menyedihkan lagi diwajibkan menyerahkan bakti berupa hasil bumi
dengan pungutan yang besar sebagai pajak.
Ketika
Orde Baru berkuasa, menerapkan strategi pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, dimana investasi modal menjadi motor penggerak utamanya.
Pondasi ideologi populis yang diterapkan pemerintahan Soekarno dibongkar dan
diganti dengan gagasan kapitalisme. akibatnya, segala upaya yang telah dirintis
pemerintahan Orde Lama untuk meletakkan reforma agraria sebagai basis
pembangunan tidak diberi ruang hidup. Begitu juga saat reformasi mengantarkan
kita ke demokrasi, Indonesia seolah masih permisif untuk tidak terlalu
mewacanakan persoalan agraria secara massif. Dimasa ini, Masalah agraria bukan menjadi persoalan fundamental yang urgen sehingga
banyak pihak terutama para pengambil kebijakan yang melihat dan memahaminya
secara parsial dan serampangan. Ini antara lain dapat disimak dari agenda
reformasi yang kerap dikumandangkan dimana reforma agraria tidak masuk menjadi
prioritas penting.
Banyak pihak menilai bahwa komitmen pemerintah untuk
menjalankan pembaruan agraria merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan
reformasi agraria secara bermakna. Namun sayangnya justru ditenggarai masih
banyaknya kebijakan yang tumpang-tindih seputar persoalan pertanahan antara pemerintah
pusat dan daerah. Mengingat banyak raja-raja kecil yang menjadi tuan tanah di
daerahnya masing-masing.
Dengan berkaca pada ragam pengalaman pengaturan
pertanahan mulai zaman feodal hingga masa kolonial, Tauchid mengingatkan betapa
pentingnya reformasi agraria dilakukan oleh pemerintah nasional saat Indonesia
merdeka. Namun justru bayang-bayang feodalisme dan kolonialisme itu terlalu
kuat sehingga pemerintah Indonesia justru sulit keluar dari jeratan
bayang-bayang itu. Ini tampak antara lain dari peraturan pertanahan yang masih
banyak mengadopsi ordonansi Belanda. Demikian pula perilaku birokrasi terkait
penanganan persoalan pertanahan agaknya masih membawa aroma feodalisme dan
kolonialisme.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari buku ini ialah, bahwa
penjajahan di Indonesia akan tergambarkan secara utuh jika kita memahami
kebijakan politik agrarianya. Dengan membaca buku ini kita akan menyadari bahwa
politik agraria warisan era kolonial sesungguhnya secara praktek masih tetap
dipertahankan walaupun kita telah merdeka dan telah silih berganti kekuasaan
dalam pemerintahan hingga jaman reformasi kini. Kondisi seperti ini yang
kemudian memunculkan semangat perlawanan rakyat dalam memperjuangkan keadilan
agraria hingga saat ini.
Tetapi, Mochammad Tauchid yang telah bercerita secara mendalam
dalam bukunya ” Masalah Agraria Sebagai Masalah Kehidupan Dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia” tampaknya tidak terlalu kongkrit membahas dua aspek penting. Banyak
kasus-kasus dan data serta informasi mutakhir seputar isu agraria tidak cukup dibahas
dalam buku ini. Selain itu, model tawaran mengenai reformasi agraria yang
banyak disebut-sebut juga tidak begitu dibahas dalam hal pengaplikasiannya atau
dalam bentuk solusi untuk memuat kebijakan yg kongkrit. Dua hal inilah yang
menurut saya menjadi kekurangan diantara hamparan informasi penting yang dimuat
dalam buku ini.
Penulis :
Mochammad Tauchid
Diterbitkan pertama
kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Tjakrawala, Jakarta, 1952.
Diterbitkan
kembali oleh STPN Press, bekerjasama dengan PEWARTA (Persaudaraan Warga Tani),
Yogyakarta, 2009.
691 + xix
hlm, 14x21 cm
ISBN : 978-602-8129-56-5