“Once in a life time, try to be
minority”
Kini saya hidup sebagai
minoritas. Seluruh kawan lama ntah dimana, sekalipun ada mereka dihilangkan
oleh kesibukan saya. Ini adalah jatuh.
Dahulu saya dibesarkan
ditempat yang penuh dengan inspirasi, dimulai dari tempat hingga manusia. Berbagai
pemikiran tumbuh berkembang disekitar saya. Ya, dahulu seperti itu. Namun kini
keadaan berubah, apa yang indah disini hanyalah angan-angan. Tidak ada
inspirasi, toleransi, saling menghargai dan yang paling tragis adalah tidak ada
Empati.
saya kini hidup sebagai
minoritas, minoritas yang tidak ada hubungannya dengan agama, politik ataupun
warna kulit. Namun minoritas dalam hal pemikiran, pergaulan, pola pikir dan masalah
sosial lainnya. Saya jatuh.
Pada sebuah kesempatan,
saya melihat blog seseorang, dia menulis “saya pernah memaparkan bahwa tujuan untuk menjadi minoritas sekali
seumur hidup bukanlah untuk ikut-ikutan menjadi seperti golongan tertentu, tapi
hal ini lebih bertujuan agar kita bisa hidup untuk saling menghargai sebagai
sebuah bangsa yang beragam. Banyak sekali persepsi-persepsi tidak benar di
antara kita yang telah mengakar dan mestinya harus dicabut karena kenyataannya
memang tidak demikian. Sekali seumur hidup, cobalah keluar dari zona nyaman
anda dan cobalah untuk bergaul dengan orang yang berbada baik secara agama,
suku, ras ataupun adat-istiadat. Sekali lagi bukan untuk ikut-ikutan menjadi
golongan tertentu, tetapi lebih agar kita dapat saling hidup dalam suasana yang
toleran dan harmonis.”
Hingga akhirnya, hanya kata-kata
klasik dari kawan-kawan lama yang justru membuat saya bertahan. “Sabar”.
Terimakasih, kepada
seluruh kawan lama, saling mengenal dan
dekat selama lebih dari 5 tahun. Juga kepada kalian yang mengajari toleransi
pemikiran dan sosial. Namun pertanyaannya adalah, apakah yang toleran harus
tetap bertahan? Sedangkan yang tak mampu berempati masih terus mengganggu.